JANGAN (LAGI) PANGGIL AKU CHINA !!!

Hidup ku, Bakti ku dan Mati ku hanya untuk Indonesia, kira kira demikianlah pesan yang disampaikan oleh sinetron berjudul “Jangan panggil aku China” yang di tayangkan salah satu stasiun Televisi swasta dalam menyambut Tahun Baru Imlek 2557 tahun lalu.

Pengharapan akan kesetaraan dimata hukum, memperoleh pendidikan, kesempatan mendapat kerja di Pemerintahan dan Militer, kemudahan pengurusan administrasi kependudukan, persahabatan saling berbagi antara si-Acong dan si-Ujang serta kisah sedih asmara antara si-Meilan dengan si-Asep juga tergambarkan dalam sinetron tersebut.

Pada kisah lain, Protes yang dilakukan Susi Susanti dan Alan Budi Kusuma, atas baktinya mengharumkan nama Indonesia di kancah olah raga Bulu tangkis disatu sisi dan susahnya mereka mendapatkan dokumen kependudukan hanya karena tidak ada SBKRI orang tua mereka di sisi lain, menjadi sepenggal kisah diskriminasi.

Pada tanggal 18 Juni 1946 Presiden Pertama Republik Indonesia melalui Penetapan Pemerintah No.2/OEM-1946 tentang Hari Raya Keagamaan di Indonesia, khusus Hari Raya umat Tionghoa yang ditetapkan pemerintah adalah Tahun Baru Imlek, hari wapatnya Nabi Khonghucu, Tsing Bin dan hari lahirnya Nabi Khonghucu.

Penegasan bahwa Khonghucu adalah sebagai agama tertulis jelas dalam Penjelasan Penetapan Presiden RI No.1 tahun 1965 tentang Pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, dalam penjelasan Penetapan Presiden tersebut dinyatakan bahwa agama agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu.

Meletusnya G30S-PKI tahun 1965 adalah awal timbulnya gerakan anti Tionghoa diberbagai daerah di Indonesia, timbulnya gerakan anti Tionghoa tersebut disebabkan karena pada akhir masa kepemimpinan Presiden Soekarno sebagian orang orang Tionghoa menjadi anggota Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI) sedangkan sebagaian dari anggota Baperki tersebut berorientasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI).

Meletusnya G30S-PKI sangat menyudutkan posisi orang orang Tionghoa di Indonesia, banyaknya orang orang Tionghoa yang berorientasi ke PKI serta adanya anggapan Republik Rakyat Cina (RRC) harus bertanggung jawab pada meluasnya paham Komunis di Indonesia, sejak itu pada awal pemerintahan orde baru keluar larangan penggunaan hurup dan bahasa China dalam perekonomian, keuangan, administrasi atau telekomunikasi.

Selain hal itu pelarangan juga masuk pada lingkup aktivitas menjalankan ibadah agama Khonghucu serta melarang orang orang Tionghoa untuk merayakan tahun baru Imlek, pesta lampion pada perayaan Cap Go Meh, pertunjukan kesenian Barong Sai dan penutupan sekolah sekolah berbahasa China, Puncaknya melalui Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 agama Khonghucu tidak diakui lagi sebagai agama resmi di Negara Indonesia.

Instruksi Presiden No.14 tahun 1967 tersebut adalah tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China, isinya diantaranya pertama agar tata cara ibadah yang mengandung aspek kultur dari Negeri China pelaksanaannya secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan, kedua, perayaan perayaan pesta agama dan adat istiadat China dilakukan secara menyolok di depan umum, dan tentunya harus mendapat izin terlebih dahulu dan diawasi.

Instruksi tersebut yang menyebabkan terjadinya gelombang perpindahan agama dari Agama Khonghucu ke agama resmi lainnya di Indonesia, karena Inpres No.14 tahun 1967 tersebut menggambarkan adanya identifikasi bahwa agama Khonghucu identik dengan China dan itu berarti identik dengan Komunisme, dan Inpres tersebut juga menyebabkan munculnya Peraturan dan Perundang undangan yang menghambat kegiatan agama dan budaya China di Indonesia.

Tetapi apakah dalam perjalanan ke depan larangan larangan tersebut menjadi keputus-asaan ternyata tidak, di pemerintahan orde baru dalam bidang perekonomian justru Warga Tionghoa bergandeng tangan dengan Pemeritah dalam membangun perekonomian bangsa Indonesia, dan tidak sedikit juga dalam perselingkuhan ini melahirkan beberapa Taipan Ekonomi yang menjadi Koruptor yang kini masuk dalam Daftar Pencarian Orang,

Dalam hal beribadah Agama Khonghucu terus hidup dan berkembang sekalipun pernikahan agama Khonghucu tidak didapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dan tidak diperbolehkan mencantumkan Agama Khonghucu di Kartu Tanda Penduduk.

Rumah rumah ibadah Klenteng sebagai rumah ibadah Agama Khonghucu tetap berdiri sekalipun perizinan berdirinya memakai fasilitas administrasi agama Budha (Tri Dharma), Pemerintah Orde Baru tahu bahwa ada aktivitas Ritual Ibadah Agama Khonghucu di Kelenteng tapi mereka menutup sebelah mata, bukankah rumah ibadah Agama Budha adalah Vihara.

Kesenian Tionghoa tetap beraktivitas sekalipun sebelum pentas harus mendapat izin dari aparat keamanan dengan dalih untuk hiburan kalangan sendiri serta ada juga Warga Tionghoa yang bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil, Tentara, Polisi bahkan Politisi dan profesional lainnya.

Larangan larangan yang muncul pada awal awal masa orde baru akhirnya hanya menjadi macan kertas dan menjadi semu karena pada kenyataannya aktivitas agama dan budaya terus berjalan dan terbuka, seiring kepentingan politik terutama untuk perolehan suara dalam Pemilihan Umum.

Namun demikian warga Tionghoa sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) pada masa Orde baru, terus berjuang untuk setara dimata hukum, memperoleh pendidikan, kesempatan mendapat kerja, kemudahan pengurusan administrasi kependudukan terus di lakukan, terutama dalam hal peniadaan Surat Bukti Kewarganeraan Republik Indonesia (SBKRI) sebagai syarat dalam memperoleh dokumen dokumen kependudukan, Imigrasi, Usaha dan kepemilikan hak atas tanah.

Dengan berubahnya iklim sosial dan politik, pada Era Reformasi perjuangan tersebut mulai menuai hasil, dimulai dari Pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid dengan Keputusan Presiden No.6 tahun 2000 yang mencabut Instruksi Presiden RI no.14 tahun 1967 dengan demikian Khonghucu kembali menjadi Agama yang diakui oleh Negara Indonesia kemudian dinyatakannya Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional oleh Pemerintahan Presiden Megawati.

Pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 1 Agustus 2006 telah disahkannya Undang Undang RI No.12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan pada tanggal 8 Desember 2006 telah di sahkan Undang Undang Administrasi dan Kependudukan (Belum ada lembaran negaranya), sebagai puncak berakhirnya diskriminasi.

Tetapi apakah dengan lahirnya Undang Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Undang Undang Adminitrasi Kependudukan dalam Prakteknya Diskriminasi tersebut dengan sendirinya akan dijamin hilang, jawabannya hanya dengan Sosialisasi dan Pembauran serta rasa cinta pada pada bangsa dan negara ini.

Sosialisasi Peraturan Perundangan Undangan tersebut bukan hanya untuk kalangan Warga Tionghoa tetapi juga untuk menempa mental Aparat pemerintah sebagai pelaksana dari Undang Undang tersebut, karena tidak menutup kemungkinan ketidaktahuan Warga Tionghoa akan adanya Undang Undang tersebut menjadi lahan pemerasan.

Gunung tidak perlu tinggi yang penting ada Dewanya dan Sungai tidak perlu dalam yang penting ada Naganya.

Opini ini Telah dimuat di Harian Pagi Dumai Pos ( ?/2/2007)
Oleh : Bakrun Satia Darma, SH
Advokat/Mediator pada BSD Law Firm

http://gumayonline.com/opini.php?go=isi&id=3
http://bakrunsatiadarma.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment