Perilaku Ekonomi dari Perspektif Psikologi

Lebih dari satu abad, model pengambilan keputusan yang menjadi canon dalam ekonomi didasari oleh pandangan manusia sebagai homo economicus. Pandangan ini mengambil asumsi bahwa manusia adalah agen rasional dalam aktivitas ekonomi yang hanya memaksimalkan kegunaan yang diharapkan (expected utility) atau kebahagiaan yang terberi oleh suatu preferensi tertentu dalam berbagai keadaan. Dengan demikian, tingkahlaku manusia dapat direduksi menjadi optimasi penyelesaian masalah. Dalam pandangan ini, manusia selalu rasional dalam memilih dalam situasi apapun.

Sifat rasional di sini diartikan sebagai ciri dari tindakan yang
Ø memperhitungkan untung-rugi,
Ø mementingkan keuntungan diri sendiri (self-interest), dan
Ø memberikan hasil yang sebesar-besarnya
dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Pengertian rasional itu mendasari cara pikir para ekonom sebagai berikut:
v Perspektif yang mereka gunakan adalah perspektif untung dan rugi;
v Masalah yang mereka kaji intinya adalah seputar menetapkan keuntungan dan kerugian;
v Analisis yang mereka tampilkan adalah analisis marjinal; dan
v menerakan nilai waktu terhadap uang, dalam arti Rp. 1 sekarang lebih berharga dari Rp. 1 besok karena bisa diinvestasi dan mendapat bunga.

Menurut pandangan ekonomi rasional itu, dalam kondisi apapun manusia selalu menampilkan perilaku yang didasari oleh perhitungan untung-rugi dengan kepentingan untuk menguntungkan dirinya. Perilaku yang ditampilkan selalu diusahakan agar sesedikit mungkin disertai pengorbanan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Contoh, seorang pedagang akan menjual baju kepada orang yang jadi korban bencana banjir dengan harga yang sama dengan yang ia tawarkan kepada orang yang tidak mengalami bencana. Pertimbangan pedagang itu adalah ia harus mendapat untung dalam berdagang lepas dari kondisi yang dialami atau karakteristik yang dimiliki oleh pembelinya. Faktor sentimen, solidaritas, motif altruistik dan sebagainya tidak menjadi pertimbangan pedagang itu. Yang penting bagi pedagang itu adalah mendapatkan untung sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Pandangan manusia sebagai makhluk rasional ini dikritik dan disanggah oleh para pemikir Behavioral Economics yang memandang keputusan manusia lebih kompleks dari sekedar perhitungan untung-rugi atau optimasi nilai guna. Dalam praktek keseharian, menurut para pemikir itu, manusia tidak selalu menampilkan perilaku rasional. Manusia memiliki keterbatasan pengetahuan dan kemampuan kognitif. Rasionalitas manusia perlu dipahami sebagai rasionalitas yang dikelilingi oleh batas-batas tertentu atau disebut sebagai bounded rationality (Simon, 1957). Pemikiran ini membantah pandangan ekonomi formal dan rasional yang berkembang di tahun 1940-an yang mengasumsikan manusia memiliki informasi yang lengkap, memaksimalkan perilakunya, dan hanya mementingkan diri sendiri. Pandangan ini juga menyanggah teori expected utility dari von Neumann dan Morgenstern (1944).
Pengaruh psikologi cukup besar dalam pandangan dan pemikiran para ahli ekonomi behavioral, terutama dalam memahami rasionalitas. Psikologi memahami tingkahlaku manusia sebagai gejala deskriptif, gejala yang dipahami dan dijelaskan apa adanya. Rasionalitas atau sifat rasional juga dipahami secara deskriptif oleh para psikolog. Pendekatan deskriptif ini digunakan oleh para ahli behavioral economics termasuk dalam memahami rasionalitas.
Rasionalitas yang dimaksud oleh para `ekonom rasional' pada kenyataannya bersifat normatif. Awalnya adalah pernyataan normatif, "jika ingin untung maka bertindaklah rasional." Namun kemudian pernyataan normatif itu diperlakukan secara deskriptif, "semua orang rasional" atau "manusia adalah makhluk rasional yang selalu memperhitungkan untung-rugi'. Psikologi sebagai ilmu deskriptif menemukan penyataan "semua orang rasional" itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Pada prakteknya, orang tidak selalu rasional dalam bertingkahlaku dan tindakan seseorang dipengaruhi juga oleh berbagai faktor selain perhitungan untung-rugi. Meski tidak bisa dibilang "manusia tidak rasional", tidak bisa pukul rata menegaskan "semua orang rasional". Oleh karena itu, psikologi mencoba memahami pengertian `rasional' dalam arti yang lebih luas. Pernyataan dasar yang digunakan adalah "Manusia tidak mesti rasional."
Asumsi normatif dalam ekonomi makin banyak mendapat tantangandari model deskriptif. Bukti-bukti empirik menunjukkan bahwa tingkahlaku manusia tidak konsisten dengan model canon ekonomi yang didasari oleh pandangan homo economicus. Tak jarang orang menampilkan perilaku pengambilan kepitusan tak rasional dalam keseharian mereka. Contohnya, pilihan terhadap beberapa keadaan yang sama tergantung pada titik rujukan (reference point) yang dihasilkan oleh pembingkaian (framing). Contoh lain, orang tak jarang menunjukkan preferensi yang tak konsisten. Bias sistematis atau error tampil dalam proses pembuatan keputusan ketika orang menggunakan jalan pintas dalam berpikir (heuristic).
Mengambil cara pandang psikologi, behavioral economics mencoba memahami manusia seperti seorang psikolog memahami manusia. Psikolog memahami manusia sebagai makhluk rasional, tetapi lebih dari itu, manusia juga makhluk emosional, makhluk sosial, dan sebagainya. Jika ekonom konvensional menganggap tidak penting asumsi dan lebih mementingkan prediksi, maka psikolog menilai penting asumsi yang realistik. Psikolog tidak mencari tahu yang normatif, melainkan yang deskriptif, memaparkan fakta yang ditemukannya. Jika ekonom konvensional menegaskan manusia adalah egois, maka psikolog memandang manusia tidak hanya egois, melainkan bisa juga altruis, berorientasi sosial, dan sebagainya.
Seiring dengan banyaknya kritik ditujukan kepada teori expected utility, menggunakan dasar pemikiran bounded rationality dari Simon (1957), di tahun 1960-an dan 1970-an fokus ekonomi bergeser dari normatif (apa yang seharusnya dilakukan untuk mencapai yang optimum) ke deskriptif (apa yang benar-benar dilakukan). Teori prospek dari Kahneman dan Tversky (1979), Thaler (1981), Lowenstein (1987, 1988, 1992) menunjukkan bukti-bukti empirik bagaimana orang menampilkan perilaku ekonomi yang tidak selalu rasional. Kahneman dan Tversky (1979) meneliti bagaimana orang memberi penialaian terhadap prospek. Mereka mendefinisikan prospek sebagai kombinasi antara hasil dan probabilita. Penelitian mereka menunjukkan bahwa bias terjadi dalam penilaian prospek. Orang tak jarang memberi penilaian yang tidak rasional terhadap risiko kerugian dan kemungkinan berhasil. Thaler (1981) juga menunjukkan berbagai anomali khusus terjadi di pasar. Loewenstein (1988) menunjukkan bahwa kerangka pikir sesorang mempengaruhi keputusan yang diambilnya dalam memilih.
Berkembangnya ekonomi behavioral sejalan dengan pemahaman bahwa persoalan ekonomi ada dalam berbagai ranah kehidupan. Perilaku ekonomi tidak terbatas hanya pada urusan uang atau perdagangan. Garry Becker mengemukakan teori cinta yang memandang hubungan percintaan sebagai hubungan ekonomi, dengan demikian perilaku dalam hubungan cinta pun adalah perilaku ekonomi. Menurut Becker cinta mengenal pasar jodoh seperti halnya pasar tempat penjual dan pembeli bertemu. Tiap orang yang mencari jodoh merupakan penjual sekaligus pembeli (sama seperti bursa saham). Diri seseorang merupakan komoditi memiliki, memiliki harga pasar. Transaksi terjadi kalau harga yang ditawarkan penjual sama dengan harga yang rela dibayar pembeli.
Pemahaman terhadap perilaku ekonomi yang tak terbatas hanya pada urusan uang dan dagang menjadikan perilaku ekonomi sebagai kajian psikologi. Sebagai ilmu yang mempelajari tingkahlaku manusia, psikologi menjadikan perilaku ekonomi sebagai objek kajiannya. Hasilnya, sesuai dengan cara pandang deskriptif, ditemukan bahwa manusia tidak mesti rasional. Ada pengaruh faktor-faktor non-rasional dalam pengambilan keputusan, seperti faktor gairah (passion), motif sosial, dan pertimbangan kondisi orang lain. Pemikiran seperti ini sebenarnya bukan hal baru dalam ekonomi. Adam Smith (1759) dalam buku Theory of Moral Sentiments sudah mengemukakan bahwa perilaku ditentukan oleh dua proses yang bertentangan, (1) gairah (seperti dorongan seks dan lapar) serta (2) proses individu melihat dirinya dari kacamata orang lain (impartial spectator). Proses itu dapat mengoreksi bahkan menggagalkan dorongan gairah.

Kajian tentang preferensi belakangan juga menunjukkan tidak memadainya pandangan manusia sebagai homo economicus. Temuan-temuan psikologi tentang preferensi membantah pandangan ekonomi konvensional. Merujuk kepada Samuelson (1937), ekonom konvensional menggunakan konsep revealed preference yang menjelaskan bahwa apa yang tampak dipilih oleh seseorang merupakan preferensi orang itu. Mereka menganggap perilaku yang tampak mencerminkan preferensi. Sebagai contoh, jika ada orang dalam sebuah pesta mengambil sate sebagai lauk makannya, maka dapat disimpulkan bahwa orang itu memang suka sate; jika ia mengambil puding berarti ia suka puding. Pemikiran ini sejalan dengan pandangan aliran Behavioristik dalam psikologi yang hanya mengkaji gejala-gejala yang tampak (overt). Berbagai penelitian psikologi belakangan ini membantah ini dan menunjukkan bahwa ada yang tersirat dari yang tampak. Ada faktor-faktor yang tersembunyi dari perilaku yang tampak. Perilaku tidak selalu mengambarkan atau mencerminkan selera. Contoh, orang mengambil sate bisa karena hanya itulah makanan yang tersisa jadi meski ia taksuka sate, ia mengambilnya juga. Begitu pula dengan pilihan puding, bisa jadi orang itu mengambil puding karena makanan penutup lain sudah habis sehingga ia tak punya pilihan lain.

Menanggapi bantahan psikologi soal preferensi, ekonomi mengeluarkan berbagai teori untuk melengkapi pemikiran mereka tentang perilaku ekonomi manusia. Salah satunya adalah teori keterbatasan (constrain theory) yang menyatakan bahwa perilaku ekonomi manusia dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya dan kemampuan. Contoh, sebuah mobil BMW model terbaru diperlihatkan kepada seseorang dan ia dimintai tanggapannya. Lalu orang itu menjawab, "bagus". Bukan berarti ia akan beli mobil BMW itu. Orang mebeli atau tidak mobil itu tergantung pada anggaran atau sumberdaya yang ia punya. Pemikiran tentang preferensi tersebut berbeda dengan pandangan psikologi yang menyatakan bahwa preferensi meramalkan tingkahlaku.

Pemikiran penting dalam ekonomi yang cukup signifikan mendorong penelitian-penelitian psikologi di bidang perilaku ekonomi adalah pemikiran Herbert Simon yang menyatakan bahwa kemampuan kognitif manusia terbatas. Manusia bukan komputer canggih yang memiliki informasi lengkap dan mampu mengolah semua informasi secara rasional. Rasionalitas perlu dipahami dalam arti spesifik, berfungsinya tidak setiap saat. Dalam keseharian, dapat dilihat bahwa kognisi manusia terbatas. Faktor situasional juga berperan dalam menentukan perilaku. Contoh, di satu waktu seorang pembicara membuat makalah secara sangat hati-hati karena makalah itu akan disajikan di forum internasional. Di waktu lain, ia membuat makalah asal jadi karena makalah itu hanya di sajikan di kalangan internal tempat ia bekerja. Situasi yang berbeda bisa menggerakkan manusia menampilkan perilaku yang berbeda. Dari sini dapat disimpulkan, manusia tidak selalu mencermati apa yang ia lakukan. Ia bisa tidak rasional dalam bertingkahlaku dalam situasi-situasi yang dianggapnya tidak menuntut ia untuk bertanggung-jawab.

Pemikiran Simon itu memicu dilakukannya berbagai penelitian di bidang psikologi kognitif untuk memahami kerja pikiran manusia dan keterbatasan-keterbatasannya.Penelitian-penelitian itu membandingkan sifat rasional yang diklaim ekonom konvensional dengan perilaku manusia sehari-hari. Dari sana ditemukan bahwa orang sering melakukan heuristik atau mengambil jalan singkat dalam berpikir. Orang tidak selalu mengumpulkan informasi secara lengkap dan mengolah informasi itu secara optimal. Bias-bias banyak terjadi dalam pengambilan keputusan. Temuan Kahneman dan Tversky (1979) yang sudah disebut tadi merupakan salah satu hasil dari penelitian semacam itu.

Berbagai temuan dalam kajian psikologi kognitif memberikan bukti bahwa pandangan manusia sebagai homo economicus yang melulu rasional tidak memadai untuk dipakai menjelaskan, meramalkan dan mengontrol perilaku ekonomi. Pandangan normatif itu tidak sesuai dengan kondisi nyata yang ada dalam keseharian manusia. Secara deskriptif, manusia bisa rasional, bisa juga tidak rasional dalam membuat keputusan. Sebagai alternatif, diajukan pendekatan rasional preskriptif yang mencoba memahami bagaimana menjadikan manusia lebih rasional dalam memilih. Jika ditemukan bahwa perilaku ekonomi orang tidak selalu rasional, maka perlu dicari tahu bagaimana orang bisa untung dengan kondisi seperti itu. Untuk itulah kajian-kajian perilaku ekonomi perlu dilakukan secara lebih realistik dan sesuai dengan kenyataan empirik dengan tujuan untuk membantu orang-orang mencapai kesejahteraan lebih baik lewat perilaku-perilaku mereka.***

Daftar Pustaka
Antonides, G. 1998. Psychology for Economics and Bussiness.
De Cremer, dkk. (Eds). 2006. Social Psychology and Economics.
Kahneman, D. & Tversky, A. 'Prospect Theory: An Analysis of Decision under Risk,' Econometrica, XVLII (1979), 263–291.
Samuelson, Paul (1937). `A note on measurement of utility'.Review of Economic Studies, 4, 155-161.
Smith, A. (1759/1892). The Theory of Moral Sentiments. New York: Prometheus Books.
Thaler, R. (1981). Some empirical evidence on dynamic inconsistency. Economics Letters, 8, 201-207.
von Neumann, J., & Morgenstern. (1947). Theory of Games and Economic Behavior. (2nd ed.). Princeton NJ: Princeton University.
http://www.behaviouralfinance.net/.
http://www.appropriate-economics.org/.

1. Makalah ini disajikan dalam acara "Diskusi Psikologi dan Perilaku Ekonomi" tanggal 26 Februari 2007 yang diselenggarakan dalam Pekan Psikologi UI 2007 di Fakultas Psikologi UI.
2. Harry Susianto adalah pengajar Mata Kuliah Psikologi dan Perilaku Ekonomi di Fakultas Psikologi UI. Ia sekarang menjabat sebagai Kepala Bagian Psikologi Sosial di Fakultas Psikologi UI. Makalah ini dibuat berdasarkan hasil wawancara dan bahan tertulis dari Harry Susianto; dirangkai oleh Bagus Takwin sebagai moderator dalam diskusi ini.

No comments:

Post a Comment